May 2018 ~ SCOUTNEMA

Mengukir Kenangan Untuk Bekal Petualangan

Kabut tipis ini bak tirai pembuka di pagi hari. Aerosol cair dari proses dispersi gas-gas oleh fase terdispersi cair. Dingin. Meski begitu, orang-orang tampak lalu lalang di depan rumah. Membawa banyak bawaan. Entah itu dari arah utara, atau dari arah selatan. Maklumlah, rumahku berada di jalur menuju pasar tradisional. Yang jika menuju ke sana, harus melintasi palang kereta api kebanggaan kecamatan kami. Hehehe
Hari ini adalah masa-masa langka. Waktu-waktu dimana kami bisa menumpahkan kerinduan atas celoteh yang telah tertoreh tiga tahun lamanya. Yang sekarang sudah amat sulit lagi untuk kami ketemukan. Ya, hari ini aku dan kesepuluh sahabat baikku ditambah satu Pembina PRAMUKA SMPku dulu akan berpetualang. Mengexplore Jombang yang katanya nggak ada apa-apanya.Yang membuat kian banyak warganya menghabiskan banyak uang untuk plesir mencari keindahan alam. Hari ini akan kami buktikan, seberapa benar anggapan itu.
****
Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Itu artinya kami telat setengah jam untuk berangkat menuju tempat petualangan kami. Seperti biasa, guide kami hari ini adalah Kak Teguh. Orang yang paling tahu seluk beluk Jombang. Orang yang paling tahu segala arah dan jenis jalan. Dari jalan raya sampai jalan tikus. Orang yang paling tahu posisi warung makan yang paling enak tapi mahal, hingga yang paling murah asal kenyang. Hehehe. Terkadang kami sampai geleng-geleng kepala atas pengetahuan Kak Teguh.
Hari ini adalah hari spesial bagi aku dan Elok. Hari dimana kami merayakan syukuran bersama teman-teman tercinta. Ya, syukuran atas bertambahnya usia kami. Enam belas tahun. Tanggal ulang tahun kami memang hampir bersamaan. Di Bulan Pebruari, dia tanggal dua puluh dua, aku dua puluh empat. Ada satu lagi teman kami yang tanggal lahirnya hampir bersamaan, dua puluh Pebruari; Banda.
****
Jombang sudah maju. Banyak jalan-jalan yang sudah tertutup aspal. Nyaman saat dilintasi. Apalagi untuk sekelas mobil-mobil bagus. Tapi jangan harap bisa mengikuti jejak kami jika pembaca menggunakan mobil untuk berpetualang ke tujuan kami. Serius, jangan. Berangkat dengan sepeda motor, itu sudah cukup untuk menikmati sebagian dari petualangan kami. Jalan yang bergelombang, lebih dari itu. Kau tahu aspal yang sudah rusak? Ya. Berlubang, penuh batu, gronjal-gronjal. Tapi itulah sensasinya. Jalan yang seperti itu membuat kami serasa mengendarai kuda, apalagi ditambah dengan banyaknya genangan air hujan. Basah pula celana kami. Heheheh
Landscape pedesaan sungguh sempurna di sepanjang perjalanan. Sawah membentang indah, bukit-bukit kapur di kejauhan, hingga siluet kehidupn gunung di sudut selatan. Ah satu lagi, langit biru cerah yang sempurna. Sungguh pilihan yang tepat untuk merefresh otak dari kejenuhan siswa SMA.
Tak terasa, empat puluh lima menit kami dimanjakan relief pedesaan Kabupaten Jombang. Here we are, Plandaan. Kami mulai memasuki areal sepi. Jalan aspal yang mulus, namun di sisi kanan dan kirinya penuh semak. Pohon-pohon tinggi menjulang. Mulai panas, namun sejuk di mata.
Kalipadas. Tempat wisata yang di depannya ada bumi perkemahan. Tempat ini sudah dibangun indah, namun terbengkalai. Nampak rumput-rumput liar yang sudah tumbuh menggeliat. Mainan bebek air yang rusak ditinggal begitu saja. Pendopo yang dibiarkan kotor, tak terawat, amat sayang. Ah, begini memang kegemaran yang sudah membudaya. Pandai membuat, tak pandai merawat. Sudah menggelontorkan banyak uang untuk fasilitas wisata, namun tak mau mengelolanya dan membuatnya semakin besar. Entahlah siapa yang musti disalahkan. Pemerintahkah, atau warga sendiri yang merusak. Sosialisasi dan promosi perlu digalakkan untuk memperkenalkan tempat-tempat seperti ini. Potensi wisata yang bisa menunjang perekonomian warga, juga untuk pemerataan, apalagi di daerah yang terpencil seperti ini.
Terlepas dari itu, kami tetap berusaha menikmati petualangan ini. Lapar. Ah, waktu yang tepat untuk menyantap bekal kami. Lihatlah, sekian banyak sajian yang kami bawa, cukup menggugah selera. Ya setidaknya karena kami lapar. Heheheh.
Makan bersama seperti ini adalah salah satu mozaik kenangan masa SMP yang aku rindukan. Kebersamaan di dunia organisasi yang membesarkan kami. Dalam cerita yang indah. Tak selalu menyenangkan, namun cukup membuat kami memiliki dasar pengalaman. Organisasi ini adalah keluarga kedua kami. Sudah banyak peluh yang menetes saat kami berkegiatan bersama. Banyak tawa renyah yang terdengar kala kami bersama. Entahlah, amat cinta aku pada mereka; keluarga kedua.
****
Makan selesai. Perjalanan kami masih panjang. Masih di wilayah yang sama. Kami harus naik turun bukit. Panas mulai mendera. Jalan juga sudah tak bersahabat. Kali ini kami sudah melintas di tengah-tengah bukit kapur yang terbelah oleh aspal. Sawah masih membentang. Rumah-rumah warga yang tampak senggang. Jauh sekali, belum pernah ke sini. Kami melintasi jembatan goyang. Subhanallah sekali rasanya. Sepeda motor pertama melintas, aku urutan kedua. Ah, salah langkah. Jantung berdebar. Rasanya bergoyang-goyang. Harusnya kutunggu dulu hingga geliat jembatan ini berhenti, baru saat yang tepat untuk aku lintasi. Tapi taka apa, sensasi tersendiri bisa bergoyang bersama sepeda motor berpenumpang dua. Heheheh
Belum habis rasa takjub akan pengalaman pertama melintasi jembatan goyang, kami sudah disuguhi jalan liat yang cocok untuk offroad. Sisi kanan kami adalah tebing kapur, sisi kiri kami adalah jurang. Sekitarnya sejuk, tampak banyak kayu melapuk. Ekstrem sekali. Cukup lama kami melintasi jalan ini. Bukan karena jauh, namun medan yang becek dan liat hingga menahan laju roda sepeda motor. Alamat sepulang dari sini kami harus segera mencuci motor jika tak mau diomeli orang tua.
Akhirnya kami sampai di ujung jalan. Nampak sebuah jembatan besi tanpa pegangan. Yang di bawahnya mengalir sungai coklat yang nampak lebar. Kami harus melintasi jembatan ini untuk sampai di sisi lain, seberang sana. Grand Canyonnya Jombang. Ya, kami berada di Kedung Cinet, atau nama lainnya adalah “Cinet Adventure Forest”. Lihatlah di bawah sana, batu besar yang reliefnya dilukis air. Nampak indah, ingin rasanya turun untuk bermain-main di sana. Namun sayang, saat itu sedang musim penghujan. Air sungai sedang bervolume besar. Ya mau tidak mau kami hanya bisa menikmati dari atas sini. Cukuplah bagi kami untuk sekedar berfoto ria di sini.
Satu jam berada di sini, cukup membuat kami tenang. Kami turun ke sisi sungai. Ada gubuk kecil, cukup untuk kami duduk bersama membicarakan tentang cita-cita di masa depan. Amat senang bisa bersenda gurau di sana. Kami berbicara satu persatu, apa yang kami cita-citakan, harapan-harapan besar. Kami tak tahu, mustahil atau tidak. Yang jelas, membicarakan cita-cita dengan orang lain cukup memberi kami kekuatan untuk bersama-sama sukses menggapai apa yang kami inginkan.
Berpetualang seperti ini sudah cukup membuat kami sadar. Teramat beruntung kami lahir di tanah ini. Negeri Indonesia, juga Jombang tercinta. Tanah inilah yang menjadi tempat tumpah darah kami, membesarkan kami dengan kearifan budaya local, sopan santun juga tindak tanduk yang diajarkan. Tak lepas juga pelajaran dari alamnya. Apalagi memiliki sahabat-sahabat yang luar biasa seperti teman-temanku ini. Jombang yang kaya budaya, kaya akan alam indahnya, juga kaya akan kenangan. Teruntuk kami, bila sudah di perguruan tinggi nanti. Jauh-jauh dari Jombang adalah kerinduan hati menaut asa pada rangkaian mozaik kenangan.


Veny Alivionita Sari. Berkelahiran Jombang, 24 Pebruari 1998. Salah satu pelajar di SMAN Mojoagung dan duduk di kelas XI. Menyukai sastra sejak SD berkat didikan guru kesayangan; Bu Siami

Catatan Akhir Sekolah

CATATAN AKHIR SEKOLAH Pada kalian, aku bercerita. Kisah ini milik kita bersama. Awal perkenalan yang begitu indah. Berlanjut ke dalam kebersamaan dalam puing-puing dedaunan. Terbawa lamunan nan jauh ke sukma, menebar harum dalam setiap makna. Jauh ku arungi arti sebuah perjumpaan dalam butiran do’a. Lajur kehidupan ditetapkan untuk berputar. Seperti inilah, kawan. Berjumpa akan berpisah. Wahai kawan yang ku sayang. 3 tahun berjalan dibukit pencarian. Mengais-ngais ilmu yang guru berikan. Wahai guruku... Meski suaramu tak kami dengar. Nasihatmu kami abaikan. Perintahmu kami acuhkan. Izinkan kami meneteskan embun dimata ini. Izinkan kami menggenggam ketabahanmu. Izinkan kami memahami keikhlasanmu. Izinkan kami menyesali semua kesalahan ini. Kami baru mengerti arti ketulusan itu. Sungguh mulia tugasmu wahai guruku. Disudut dada kiri kami, namamu telah membeku menjadi satu. Wahai guruku... Saat ini, kami berjalan setengah dari kemenangan. Tetapi, perjuangan belum usai. Semangatlah wahai kawan seperjuangan. Saat ini waktu telah menyiksa. Dimana kami harus berjalan sendiri menyusuri jalan kehidupan. Mendorong gerbang kesuksesan. Terima kasih guruku... Engkau adalah setetes embun yang menyejukkan hati. Hati yang telah ditikam oleh kebodohan. Berkat engkau aku tau aksara. Berkat engkau aku paham logika. Berkat engkau aku mengerti bahasa. Wahai guruku... Andai kata matahari tiada. Dunia akan beku dan bisu. Pelangi tiada terpancar. Kehidupan akan terhenti. Terlihat setitik cahaya yang kami cari. Yang nampak dari sudut-sudut bibirmu. Engkau sinari jalan kami yang buntu. Yang hampir menjerumuskan masa depan kami. Engkau terangi kami dengan lentera ilmu mu. Yang tak akan sirna diterpa angin usia. Wahai guuruku... Terima kasih atas segala keikhlasanmu. Terima kasih atas segala perhatianmu. Terima kasih atas segala kasih sayangmu. Terima kasih atas segala yang engkau berikan kepada kami. Wahai guruku... Terimalah salam hormat kami. Terimalah salam takdzim kami. Terimalah salam maaf kami. Kini kami melambaikan tangan untuk mengenang jasamu. Jasamu kan kami kenang sepanjang masa. 09-mei-2018

 
biz.